Tanah Warisan - Jilid 5 eps 10
Karya : SH Mintardja
Ki Tambi menarik nafas dalam-dalam. “Aku menangkap sesuatu padamu.
Aku menjadi semakin yakin ketika aku melihat orang Panembahan Sekar Jagat yang terluka itu memandangmu seperti memandang hantu.”
“Ah,” desis Bramanti.
“Paman selalu mengada-ada saja.”
“Tidak Bramanti, aku tidak mengada-ada. Aku hanya ingin memperingatkan kau, bahwa keadaan Kademangan ini semakin lama akan menjadi semakin parah.
Baca Juga: Ki Tambi: Aku Menaruh Curiga Padamu, Bramanti
Selain kelakuan anak-anak mudanya sendiri, Panembahan Sekar Jagat pun agaknya akan mengambil sikap yang lebih keras akibat kelakuan orang yang menyebut dirinya Putut Sabuk Tampar itu.
Nah, apakah kau masih juga akan selalu berbaring saja di dalam kandangmu dan hanya keluar apabila kau ingini sekadar bermain-main.”
Bramanti tidak menyahut. Tetapi ia menarik nafas dalam-dalam.
Baca Juga: Untuk Mencegah Kegaduhan, Bramanti Berniat Mengungsi
Ki Tambi pun kemudian berdiam diri, seolah-olah memberi waktu kepada Bramanti untuk mencernakan kata-katanya di dalam hatinya.
Sekali-kali dilihatnya wajah Bramanti yang menjadi semakin berkerut-kerut.
Kandang itu pun kemudian menjadi hening. Keduanya saling berdiam diri, sehingga yang terdengar hanyalah desah nafas mereka, dan sekali gemerisik tangan Ki Tambi menyentuh jerami kering.
Bramanti mengangkat wajahnya ketika ia mendengar suara ibunya yang terbatuk-batuk di dapur, karena asap kayu yang masih belum kering benar.
Ibunya yang menjadi semakin tua, dan seolah-olah menjadi jauh lebih tua dari umur yang sebenarnya.