Perempuan tua itu menjadi gemetar. Sehingga tubuhnya menjadi lemah. Ketika ia mencoba keluar, maka langkahnya pun menjadi terhuyung-huyung.
Dengan suara tersendat-sendat ia bertanya dari muka pintu rumahnya, “Kenapa kalian mencari Bramanti?”
Orang-orang yang berada di halaman itu berpaling. Ketika dilihatnya perempuan tua itu, beberapa orang segera memalingkan wajahnya.
Yang menjawab adalah Ki Jagabaya. “Kami memerlukan anakmu Nyi Pruwita. Kami ingin berbicara sebentar.”
“Kenapa dengan anakku.”
“Jangan bingung. Kami hanya ingin sekadar menemuinya.”
“Ya, tetapi kenapa dengan anakku. Apakah ia berbuat salah?”
“Tentu,” jawab Ki Jagabaya. “Karena itu jangan ikut campur. Anakmu sudah cukup dewasa untuk bertanggungjawab.”
“Tetapi ia anakku. Satu-satunya anakku yang ada.
“Jangan ikut campur,” desis Ki Demang. “Ki Jagabaya sudah memperingatkan. Kau tidak terlibat dalam persoalan anakmu.”
“Tapi ia anakku.”
“Diam,” bentak Ki Demang.
Perempuan itu menjadi semakin gemetar. Kakinya yang lemah menjadi semakin lemah. Tetapi ia mencoba berjalan melintasi pendapa.
Bramanti adalah satu-satunya anaknya yang ada disampingnya. Sedang anaknya yang lain, menurut Ki Tambi telah terjerumus ke dalam dunia yang hitam pekat.
“Sebaiknya kau pergi. Pergi,” berkata Ki Jagabaya pula.
Tetapi Nyai Pruwita itu tidak pergi. Ia menyadari, bahwa kebencian orang-orang Kademangannya kepada suaminya sampai saat ini belum padam.