Dan ia menyadari bahwa kebencian itu sebagian telah dilemparkannya kepada anaknya. Tetapi ia tidak pergi. Ia tidak akan membiarkan anaknya diperlakukan tidak baik.
Ki Tambi yang melihat perempuan tua itu berjalan tertatih-tatih, segera mendekatinya. Sambil membantunya ia berkata, “Sudahlah, sebaiknya kau masuk saja Nyai.”
“Tetapi anakku.”
Perlahan-lahan Ki Tambi berbisik, “Serahkan kepadaku. Anakmu pasti dapat mengatasi kesulitan yang akan menimpanya. Jangan cemas.
Aku ada di halaman ini. Dan kau lihat Panjang ada bersama dengan mereka, sehingga kalau perlu aku akan minta bantuannya.”
Perempuan tua itu mengerutkan keningnya sejenak.
“Kalau kau berada di sini Nyai, maka keputusan Bramanti untuk mengambil sikap akan sangat terpengaruh. Karena itu, masuklah. Percayalah kepadaku, dan berdoalah.”
Perempuan tua itu memandang wajah Ki Tambi dengan penuh pengharapan. “Apakah kau dapat aku percaya?”
“Aku akan mencoba memenuhi kepercayaanmu.”
“Kau berjanji?”
“Aku janji.”
Perempuan tua itu kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Aku serahkan keselamatan anakku kepadamu.”
“Ya. Semoga.”
Maka perempuan itu pun kemudian dibimbing oleh Ki Tambi masuk kembali ke dalam pringgitan.
Perlahan-lahan Ki Tambi menutup pintu sambil berdesis, “Nyai, anakmu ternyata bukan sembarang orang. Percayalah.”
Perempuan itu tidak sempat menjawab, karena pintu pun segera tertutup rapat.
Sementara itu, Bramanti masih berada di dalam kandang. Ia memang sengaja tidak beranjak dari tempatnya sampai ada seseorang menjenguk dan memaksanya keluar.