Semakin keras sikap Sekar Mirah, maka semakin besar nyala api di dalam dada Sidanti.
Sebagai seorang laki-laki yang kuat dan kasar, maka Sidanti merasa bahwa kesanggupan yang ada di dalam dirinya pasti mratani. Juga untuk menundukkan gadis ini.
Sejenak kemudian maka kembali Sidanti tersenyum. Sambil melangkah ke pintu ia berkata,
“Baiklah Mirah. Aku menyadari bahwa yang aku hadapi kali ini adalah seorang gadis yang garang. Karena itu aku harus berhati-hati. Bukan saja berhati-hati, tetapi aku harus bersabar hati.”
Sekar Mirah kini tidak mau menjerit lagi. Ia tahu bahwa jeritnya pasti akan mengundang Sidanti itu masuk kembali ke dalam biliknya, apabila anak muda itu belum terlampau jauh.
“Lebih baik aku mati daripada di jamah oleh iblis itu” desis Sekar Mirah di dalam hatinya.
TIba-tiba tangannya meraba ikat pinggangnya. Ia menjadi berlega hati ketika tangannya menyentuh sebuah benda yang kecil.
Patremnya masih terselip di ikat pinggangnya.
Ternyata kemarin Sidanti tidak mengetahuinya, pada saat membawanya ke lereng ini dalam keadaan pingsan.
“Kalau ia mendekat, maka patrem ini akan membunuhnya atau membunuh diriku sendiri.”
Tetapi terasa bilik itu menjadi semakin sempit. Ketika kembali malam mencekam lereng Gunung Merapi, maka kembali bilik kecil itu menjadi gelap.
Tetapi hati Sekar Mirah jauh melampaui gelapnya malam yang paling pekat sekalipun.
Ketika Sekar Mirah mendengar pintu bergerit cepat-cepat ia bergeser menjauh. Tangannya segera melekat pada tangkai patremnya yang kecil.
Tetapi patrem itu akan dapat mencapai jantungnya apabila ditusukkannya tepat di dada.
Tetapi yang masuk adalah seorang yang bertubuh kecil. Dengan nanar ia memandangi seisi bilik itu.