Dalam pada itu beberapa anak-anak muda telah berkeliaran di halaman mencari Bramanti dan mengawasi setiap kemungkinan untuk melarikan diri.
Namun sampai begitu jauh mereka sama sekali belum memasuki sebuah bangunan pun rumah, kandang dan lumbung yang kosong.
Dan sekali lagi Temunggul berkata, “Bramanti, kalau kau tidak keluar dalam hitungan ke sepuluh, aku akan masuk dan mencari kau di dalam rumahmu.”
Bramanti yang mendengar teriakan itu menjadi semakin gelisah. Yang digelisahkan adalah justru ibunya yang sudah tua.
Kalau saja di rumah itu tidak ada ibunya, maka ia akan tetap berada di dalam kandang itu sampai seseorang menjenguknya dan memaksanya keluar.
Tetapi, kini ia harus memperhitungkan ibunya itu pula.
Tanpa sesadarnya Bramanti menengadahkan wajahnya.
Dipandanginya blandar yang membujur di atas tiang kandangnya. Di atas blandar itu ia menyimpan senjatanya. Sebuah pedang pendek.
“Apakah aku akan mengambilnya,” desisnya. “Ah tidak. Kalau mereka melihat aku bersenjata, mereka akan menjadi semakin gila.”
Bramanti menjadi semakin gelisah ketika ia mendengar hitungan Temunggul telah sampai ke angka lima. “Enam, tujuh….”
Bramanti menarik nafas dalam-dalam. Keringatnya telah membasahi seluruh pakaiannya.
“Delapan……..”
Bramanti tidak dapat membiarkan ibunya dicekik oleh ketakutan. Karena itu, maka ketika Temunggul mengucapkan hitungan ke sembilan,
maka segera ia melangkah keluar dari kandang sambil berkata,
“Aku disini Temunggul.”
Semua mata berpaling ke arahnya. Ki Tambi pun memandanginya dengan wajah yang tegang.