“Ha, bukankah kau berada disitu,” berkata Temunggul. “Aku sudah pasti bahwa kau berada di dalam kandang karena Ki Tambi keluar dari tempat itu juga. Kau sengaja akan menjebak kami?”
“Kenapa kau tidak masuk saja ke dalamnya,” potong Ki Tambi.
“Dan kenapa kau pakai cara itu untuk memancingnya keluar?
Setiap orang yang waras memang tidak akan tega membiarkan ibunya diburu oleh ketakutan.
Hanya orang-orang yang tidak berperikemanusiaan sajalah yang mempergunakan orang-orang tua untuk kepuasan hati.”
Temunggul mengerutkan keningnya. Ia hanya melihat sikap Ki Tambi yang agak justru berpihak kepada Bramanti.
Namun ia masih menaruh hormat kepada orang tua itu. Karena itu, ia hanya memandangi Ki Demang dan Ki Jagabaya, seolah-olah menyerahkan Ki Tambi kepada mereka.
Karena itu Temunggul malahan tidak memperhatikannya lagi. Kini perhatiannya dipusatkannya kepada Bramanti yang masih berdiri dimuka kandang.
“Kemarilah Bramanti,” berkata Temunggul. “Di sini tempat lebih luas.”
Bramanti melangkah maju beberapa langkah. Wajahnya yang tegang memancarkan berbagai macam nada yang dalam dirinya penuh dengan teka-teki bagi Ki Tambi.
Namun langkah Bramanti kali ini ternyata telah menumbuhkan debar di dalam dada orang tua itu.
“Nah, apakah kau sekarang masih akan ingkar Bramanti. Anak yang kau jerumuskan ke dalam jurang itu kini ada disini,” berkata Temunggul lantang.
Bramanti tidak menjawab. Ia melihat anak muda itu tertatih-tatih dibantu oleh dua orang kawannya maju ke dekat Temunggul.
“Ki Demang dan Ki Jagabaya akan menjadi saksi persoalan ini. Aku sebagai pemimpin pengawal mendapat tugas untuk menyelesaikannya.
Untunglah, bahwa tugas yang diberikan kepadaku adalah sekadar memberimu peringatan dan sedikit cara untuk membuatmu jera.”
Bramanti masih belum menjawab.
Tetapi adalah diluar dugaan bahwa ia justru melangkah maju. Tatapan matanya kini langsung menusuk ke wajah anak yang terluka itu.