“Kau telah menjerumuskan aku,” anak yang terluka itu berbisik.
Bramanti masih tetap berdiam diri. Kini ia berdiri di dalam sebuah lingkaran yang menebar di halaman rumahnya.
“He, bukankah kau telah mendorong aku masuk ke dalam jurang?”
Bramanti tidak menyahut. Tetapi ketika ia melangkah maju, anak muda itu tiba-tiba menjadi gemetar.
“Bramanti, jawablah,” bentak Temunggul.
“Temunggul,” nada suara Bramanti terdengar berat dan dalam. “Sebenarnya kau tidak perlu bertanya kepadaku. Kau tahu persoalan yang sebenarnya terjadi.
Ayo, katakanlah.
Apa yang telah terjadi sebenarnya.
Kalau kau benar-benar seorang pemimpin dan lebih dari itu, kau memang seorang lelaki jantan, maka kau pasti akan berani berkata yang sebenarnya.”
Jawaban Bramanti itu sama sekali tidak diduga-duganya. Tatapan mata Bramanti yang lurus dan kata-katanya yang tegas, telah membuat dada Temunggul menjadi berdebar-debar.
Sejenak ia terdiam. Namun sejenak kemudian, dipaksanya dirinya untuk mempertahankan tuduhannya. Ia tidak dapat mundur lagi.
Di halaman itu berdiri banyak orang yang akan menjadi saksi.
Bersambung