Pendekar Pemanah Rajawali Bab 39.7 Perahu yang Celaka

- Minggu, 19 Maret 2023 | 16:41 WIB

Ia menghela napas, ia menepas air mata dengan ujung bajunya. Lalu ia bertindak ke dalam pohon-pohon bunga. Ia menyingkap cabang-cabang, ia mengebut-negbut daun-daun, sampai ia berada di depan kuburan ibunya.

Di depan kuburan itu tumbuh pelbagai macam pohon bunga, yang di empat musim berbunga bergantian. Semua itu ada bunga-bunga pilihan dan ditanam Oey Yok Su sendiri. Kecuali harum bunga, dipandang diantara sinar rembulan, bunganya sendiri pun permai indah.

Oey Yong menolak batu nisan, ke kira tiga kali, ke kanan tiga kali juga. Lalu ia menarik ke depan. Dengan perlahan-lahan batu itu berkisar, memperlihatkan sebuah liang atau lorong di dalam tanah. Ia bertindak ke dalam lorong itu. Ia membelok tiga kali. Kembali ia membuka pintu rahasia, yang terbuat dari batu. Maka tibalah ia di dalam, di kuburan dari ibunya yang pekarangannya lebar. Ia menyalakan api, untuk memasang pelita di muka kuburan sekali.

Pintu kuburan semuanya telah tertutup sendirinya. Maka Oey Yong berada seorang diri. Ia memandang gambar ibunya, yang dilukis oleh ayahnya sendiri. Ia berpikir keras.

“Seumurku belum pernah aku melihat ibuku,” pikirnya. “Kalau nanti aku sudah mati, bisakah aku bertemu dengannya? Bisakah ibu masih begini muda seperti gambar ini, begini cantik? Di mana sekarang adanya ibu? Di atas langit atau di bawah langit? Apakah ibu masih di dalam pekarangan yang luas ini? Baiklah aku berdiam di sini untuk selama-lamanya, untuk menemani ibu….”

Di tembok di dalam liang kubur ini ada sebuah meja, di atas mana diletaki pelbagai macam batu permata yang luar biasa, tidak ada satu juga yang tidak indah. Semua itu dikumpulkan oleh Oey Yok Su dari pelbagai tempat, ketika dulu hari ia malang melintang di kolong langit ini. Baik istana atau keraton, baik gedung orang-orang berpangkat besar atau orang-orang hartawan, atau pun sarang-sarang berandal, hampir tak ada tempat yang ia tidak pergikan, dan asal ada barang permata yang ia sukai, lantas ia ambil atau ia rampas. Sebelum mendapatkannya, belum ia puas. Ia gagah luar biasa, matanya sangat tajam, maka ia bisa mendapatkan demikian banyak permata itu. Semua itu sekarang dikumpulkannya di dalam kuburan istrinya itu, untuk dipakai menemani arwah istrinya.

Semua permata itu bergemerlapan tertimpa cahaya api.

Oey Yong berpkiri pula: “Semua permata ini tidak mempunyai perasaan tetapi mereka benda yang hitung ribuan tahun tak akan rusak termusnah. Malam ini aku melihatnya. Bagaimana kala nanti tubuhku sudah berubah menjadi tanah? Bukankah permata ini tetap berada di dalam dunia? Benarkah makhluk yang berjiwa, makin dia cerdik makin pendek umurnya? Oleh karena ibu cerdas luar biasa, dia cuma hidup duapuluh tahun, lalu menutup mata…”

Ia menjublak mengawasi gambar ibunya itu. Kemudian ia padamkan api. Ia pergi ke tepi peti kumala dari ibunya. Ia mengusap-usap sekian lama, lalu ia berduduk di tanah, tubuhnya disenderkan kepada peti. Ia berduka sekali. Ia merasakan seperti menyender pada tubuh ibunya. Lewat sekian lama, ia ketiduran dan pulas.

Mimpi Oey Yong. Ia merasa ia telah berada di kota raja, di dalam istana Chao Wang dimana seorang diri ia melawan pelbagai jago. Lalu di tengah jalan di perbatasan ia bertemu Kwee Ceng. Baru mereka bicara beberapa patah kata, mendadak ia mendapat lihat ibunya, tak dapat, tak terlihat tegas. Ibunya itu terbang ke langit, ia memburunya di bumi. Ibu itu tertampak terbang makin lama makin tinggi. Ia menjadi sangat khawatir. Sekonyong-konyong ia mendengar suara ayahnya, memanggil-manggil ibunya. Suara itu makin lama terdengar makin nyata.

Sampai di situ, mendusinlah si nona. Ia masih mendengar suara ayahnya. Ia lantas menetapi hatinya. Sekarang ia mendapat kenyataan, ia bukan bermimpi lagi. Ayahnya benar-benar telah berada di dalam kuburan ibunya itu, berada bersama dia. Ia ingat, ketika ia masih kecil, sering ayahnya bawa ia ke dalam kuburan ini, berdiam sambil memasang omong. Baru selama yang belakangan ini, jarang ia bersama ayahnya memasukinya. Ia tidak menjadi heran yang ayahnya datang. Ia berdiam. Diantara ia dan ayahnya itu ada menghalang sehelai kain. Karena ia lagi mendongkol, tidak sudi ia menemui ayahnya itu. Ia mau keluar kalau nanti ayahnya sudah pergi.

Lalu ia mendengar suara ayahnya:

“Telah aku berjanji padamu hendak aku mencari Kiu Im Cin-keng sampai dapat, hendak aku membakarnya supaya kau melihatnya, supaya arwahmu di langit mendapat ketahui. Kitab yang sangat kau pikirkan itu, yang kau ingin ketahui apa bunyinya, aku telah mencarinya sia-sia selama limabelas tahun. Barulah ini hari dapat aku memenuhi keinginanmu itu….”

Oey Yong heran bukan main.

“Darimana ayah mendapatkan kitab itu?” ia menanya dalam hatinya.

Halaman:

Editor: Suantho

Tags

Terkini

Katakanlah dengan Bunga Papan!

Kamis, 23 Maret 2023 | 18:53 WIB
X