Ang Cit Kong berbicara dengan muridnya dengan menuturkan aturan Kay Pang, partainya dalam hal memilih ahli waris atau pangcu yang baru andaikata Pangcu yang lama sudah waktunya mengundurkan diri.
"Sayang kau tidak suka menjadi pengemis," berkata guru ini, "Kalau tidak, kau sungguh tepat. Di dalam partai kita tidak ada orang yang berbakat lebih baik daripadamu. Asal aku menyerahkan tongkatku ini peranti mementung anjing, maka kecuali aku si pengemis tua, cuma kamulah yang paling besar kekuasaannya!"
Ang Cit Kong menyebutkan tongkatnya sebagai Pa-kauw-pang, yaitu tongkat peranti pengemplang anjing.
Tepat mereka bicara sampai di situ, kuping mereka mendadak mendengar suara dakdak-dukduk sebagai orang tengah mengampak kayu.
Cit Kong kaget hingga ia lompat berjingkrak.
"Celaka!" serunya. "Si bangsat tua hendak menenggelamkan perahu ini!" Ia berseru kepada Kwee Ceng: "Lekas kau rampas perahu kecil di belakang!"
Belum berhenti suaranya pengemis ini, papan perahu telah kena dibikin bobol dengan gempuran martil, maka berbareng dengan itu, segera terdengar suara sasss-sussssus, lalu tertampak, bukannya air yang menerobos masuk hanya puluhan ekor ular.
Cit Kong tertawa tetapi dia berseru: " Si makhluk tua yang berbisa menyerang dengan ularnya!" Sambil berseru, tangannya pun bekerja, menimpuk dengan puluhan batang jarumnya, hingga binatang-binatang merayap itu pada tertancap perutnya dan mengasih dengar suara kesakitan.
Menyaksikan ilmu menimpuk jarum gurunya itu, Kwee Ceng kagum bukan main.
"Yong-jie sudah lihay tetapi ia masih kalah dengan guruku ini," pikirnya.
Selagi anak muda ini berpikir, terlihat pula masuknya puluhan ular lainnya, dan Ang Cit Kong segera menyambutnya dengan jarumnya lagi, hingga semua ular itu menjadi korban seperti rombongan yang pertama, berisik suara kesakitannya. Hanya celakanya, habis itu, muncul pula yang lainnya.
"Bagus betul!" berseru Ang Cit Kong. "Si tua bangka beracun memberikan aku sasaran untuk melatih diri!" Ia lantas merogoh sakunya. Tempo tanganya mengenai isi sakunya itu, ia kaget sendirinya. Ia mendapat kenyataan jarumnya itu tinggal hanya tujuh atau delapan puluh batang. Inilah berbahaya sedang ular itu seperti tidak ada habisnya. Tengah ia berdiam, tiba-tiba terdengar suara menjeblak ke dalam disusul sama sambaran angin yang keras ke punggung.
Kwee Ceng berada di belakang gurunya, ia merasakan sambaran yang hebat itu, lekas-lekas ia bergerak untuk menangkis. Ia merangkap kedua tangannya. Masih ia merasakan tolakan yang hebat karena mana ia mesti kerahkan semua tenaganya. Dengan begitu baru ia dapat mempertahankan diri, mencegah gurunya dibebokong.
Penyerang gelap itu Auwyang Hong adanya. Ia heran hingga ia menyerukan suara "Ih!" perlahan, sebab pemuda itu sanggu menahan serangannya yang dahsyat itu. Dengan lantas ia maju satu tindak dengan diputar balik, tangannya dipakai menyerang pula.
Kwee Ceng melihat cara jago tua itu menyerang, ia mengerti bahwa ia tak bakal sanggup menangkis secara langsung, dari itu sambil menangkis dengan tangan kirinya, dengan tangan kanan ia membalas menyerang. Ia mengarah rusuk kanan dari See Tok. Di dalam keadaan seperti itu, tak gentar ia menghadapi musuh lihay ini.