Api di Bukit Menoreh, Jilid 10 episode 2
Karya: SH Mintardja
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Ia dapat mengerti sedalam-dalamnya perasaan yang sedang membakar hati Swandaru Geni.
Sebagai seorang anak Demang Sangkal Putung, ia merasa bahwa tanah kelahirannya itu selalu dalam keadaan kecut dan suram.
Ketakutan, kegelisahan dan kecemasan membayangi setiap wajah.
Bahkan setiap orang di Sangkal Putung menjadi ngeri apabila senja datang, apabila matahari mendekati punggung pegunungan di ujung barat.
Baca Juga: Laporan dari Prajurit Sandi, Laskar Tohpati akan Menyerang Sangkal Putung
Namun mereka menjadi gelisah apabila mereka mendengar ayam jantan berkokok menjelang fajar.
Mereka selalu diganggu oleh bayangan-bayangan yang menakutkan.
Apabila malam datang, maka seolah-olah orang-orang Jipang merayap-rayap di halaman rumah-rumah mereka.
Merangkak-rangkat mendekati pintu dan setiap saat mereka akan dapat dikejutkan oleh ketokan yang keras dan kasar pada pintu-pintu rumah mereka.
Baca Juga: Api di Bukit Menoreh, Jilid 9 episode 41, Menurut Ki Tanu Metir, Laskar Jipang telah berputus asa
Tetapi apabila matahari mulai membayang di ujung timur, mereka membayangkan sepasukan laskar Jipang dalam gelar Sapit Urang,
atau dalam gelar Wulan Tumanggal, bahkan mungkin dalam gelar Samodra Rob datang melanda kademangan itu.
Karena itulah maka setiap laki-laki di Sangkal Putung di setiap malam selalu menggantungkan senjata di atas pembaringan mereka, kecuali mereka yang berada di gardu-gardu.