Sesudah bercerita sendiri dan mendapatkan orang tidak tanya-jawab seperti semula, waktu Yo Ko menoleh, ia lihat Siao-liong-li sudah menggeros, nona itu ternyata sudah tertidur.
Oleh karena tekanan batinnya sudah lapang, akhirnya Yo Ko sendiri merasa letih, kemudian iapun terpulas.
Keadaan itu entah lewat berapa lama, ketika mendadak Yo Ko merasakan pinggangnya sakit linu, “jiau-yao-hiat” di pinggangnya tahu2 kena di| tutuk orang sekali, Dalam kagetnya ia terjaga dari tidurnya, selagi ia hendak melompat bangun buat melawan, tahu2 tengkuknya telah kena dicekal orang dengan kencang hingga Yo Ko tak mampu berkutik.
Waktu Yo Ko sedikit melengos, ia lihat Li Bok-chiu dan Ang Iing-po berdua sudah berdiri di samping dengan ter-tawa2, sebaliknya gurunya, Siao-liong-li, sudah kena ditutuk orang juga hingga tak berdaya.
Kiranya Yo Ko dan Siao-Iiong-li berdua sama sekali tak punya pengalaman Kangouw yang selalu harus waspada terhadap musuh dan berjaga-jaga diri, dalam girangnya mereka ternyata lupa daratan hingga tutup peti batu tadi belum mereka tutup kembali: karena itulah kemudian dapat diketahui Li Bhok chiu bahwa di bawah tanah ini masih terdapat kamar lagi dan berhasil dia menyergapnya selagi mereka tertidur.
“Ha, bagus, bagus, kiranya disini masih terdapat tempat seenak ini, kalian berdua lantas bersembunyi untuk senang2 sendiri,” demikian Li Bok-chiu mengejek “Sumoay, cara bagaimanakah, keluarnya dari sini, tentu kau mengetahuinya, jika kau masih merahasiakannya, jangan kau sesalkan Enci-mu berlaku kejam nanti.”
Namun Siao-liong-li sama sekali tak gentar oleh gertakan orang.
“Jangan kata memang aku tak tahu, seumpama tahupun tak sudi kukatakan padamu.” sahutnya ketus.
Li Bok-chiu cukup kenal watak sang Sumoay yang kepala batu, sekalipun Suhu mereka dahulu suka mengalah juga padanya, maka bila menggunakan kekerasan, pasti tak bethasil, tetapi dalam keadaan demikian, soalnya menyangkut ma-ti-hidupnya, bagaimanapun juga dia harus memaksa sang Sumoay.
Karena itu, segera ia keluarkan dua jarum Peng-pek-sin-ciam, ia lemparkan jarum2 itu ke lantai hingga mengeluarkan suara gemerincing yang halus.
“Awas, jika aku menghitung dari satu sampai sepuluh dan kau masih belum bicara, terpaksa kusuruh kau mengicipi rasanya jarum perak ini,” demikian ia mengancam.
Namun Siao-liong-Ii tetap tak menjawab, bahkan ia pejamkan matanya dan tidak gubris gertakan orang.
“Satu... dua... tiga... empat...” demikian Li Bok-chiu mulai menghitung.
“Jika Kokoh kenal jalan keluarnya, kenapa kami tidak melarikan diri sejak tadi, sebaliknya masih tinggal di sini ?” tiba2 Yo Ko membentak.
“Hm, pandai juga kau bicara,” jengek Li Bok-chiu, “Aku sudah mempelajari keadaan tempat ini, aku taksir tentu ada jalan keluar yang dirahasiakan kalian bermaksud tidur dahulu, sesudah semangat pulih, bukankah kalian lantas angkat kaki ?” Lalu ia menyambung perhitungannya lagi: “lima... enam... tujuh... delapan... sembilan...”