YOGYAKARTA, Tajuk24.com - Kalau kita telisik dari catatan sejarah, sekitar akhir abad ke16 terdapat sebuah kerajaan Islam di Jawa bernama Mataram.
Pusat kota kerajaan ada di daerah Kota Gede, posisinya sebelah tenggara kota Yogyakarta saat ini, kemudian pindah ke Kerta, Plered, Kartasura dan Surakarta.
Dimasa penjajahan Belanda kewibawaan dan kedaulatan Mataram semakin terganggu akibat intervensi yang dilakukan.
Sehingga muncul gerakan anti penjajah yang dipimpin oleh Pangeran Mangkubumi, dan terjadilah pertempuran dengan yang berpihak pada Belanda.

Baca Juga: Wasit Asal Polandia Terpilih Memimpin Final Piala Dunia, Padahal Sempat Didiagnosis Sakit Jantung
Dikutip dari dokumen perpustakaan nasional, untuk mengakhiri perselisihan tersebut disepakati Perjanjian Giyanti atau Pjalihan Nagari.
Perjanjian Giyanti yang ditandatangani pada tanggal 13 Februari 1755 (Kemis Kliwon, 12 Rabingulakir 1680 TJ). di Dukuh Kerten, Desa Jantiharo, Karanganyar, Jawa Tengah
Adanya Perjanjian Giyanti ini dipicu dengan terjadinya pertikaian pewaris tahta Kerajaan Mataram, yang mendapat campur tangan VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie).
VOC punya hak istimewa, boleh memiliki tentara, memiliki mata uang, bernegosiasi dengan negara lain hingga menyatakan perang.
Baca Juga: Penyanyi Muda Arsy Widianto Ciptakan lagu untuk Yovie & Nuno
Pada dasarnya penjajah disaat itu, ingin Kerajaan Mataram terbelah, sehingga mudah melancarkan siasat adu domba.
Dalam perjanjian tersebut, Kerajaan Mataram dibagi menjadi dua yaitu Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.
Surakarta dipimpin oleh Susuhunan Paku Buwono III, sedangkan Ngayogyakarta atau Yogyakarta dipimpin oleh Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Sultan Hamengku Buwono I.